Bima Arya: Sengketa Wilayah Aceh–Sumut Harus Selesai Berdasarkan Fakta dan Sejarah

oleh -16 Dilihat
oleh
WhatsApp Image 2025 06 13 at 23.09.29
Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya diwawancara di Kantor Dinas Pemadaman Kebakaran dan Penyelamatan Kota Makassar, Jl Dr Ratulangi, Jumat (14/6/2025). /Dok Ist

mediasulsel.id –  Makassar – Perselisihan batas wilayah antara Provinsi Aceh dan Provinsi Sumatera Utara kembali menjadi sorotan, menyusul klaim atas empat pulau kecil yang terletak di wilayah Samudera Hindia. Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek kini menjadi objek sengketa antara kedua pemerintah daerah tersebut.

Wakil Menteri Dalam Negeri, Bima Arya, menyebut bahwa permasalahan ini bukanlah hal baru dan telah berlangsung cukup lama, sehingga perlu disikapi secara cermat dan menyeluruh oleh pemerintah pusat.

“Nah, karena itu harus betul-betul hati-hati mengumpulkan berbagai macam informasi, data, dan fakta dari semua pihak,” ucap Bima Arya di Kantor Dinas Pemadaman Kebakaran dan Penyelamatan Kota Makassar, Jalan Dr Ratulangi.

Bima menyampaikan bahwa Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian akan memimpin langsung penanganan sengketa ini melalui pembentukan Tim Nasional Penamaan Rupa Bumi. Tim tersebut bertugas menelaah legalitas nama-nama pulau serta penetapan batas administratif wilayah.

Rapat koordinasi lintas kementerian dijadwalkan digelar pada Selasa mendatang. Beberapa instansi seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Informasi Geospasial (BIG), dan unsur internal Kemendagri akan terlibat dalam proses ini.

Lebih lanjut, pada hari Rabu, Mendagri juga dijadwalkan mengundang tokoh-tokoh masyarakat serta pejabat daerah dari dua provinsi yang terlibat, termasuk perwakilan dari Aceh Singkil dan Tapanuli Utara.

“Setiap pihak akan diberikan ruang untuk menyampaikan sudut pandang, masukan, serta bukti sejarah yang dimiliki. Ini akan menjadi pijakan penting untuk meninjau ulang status hukum keempat pulau tersebut,” tambah Bima Arya.

Ia menegaskan pentingnya pendekatan berbasis data, bukan hanya dari sisi geospasial, tetapi juga mempertimbangkan unsur budaya dan sejarah yang melekat pada wilayah-wilayah tersebut.

“Penyelesaian semacam ini tidak hanya terjadi di Aceh dan Sumut. Beberapa daerah lain seperti Sangatta juga mengalami hal serupa. Maka, data dari berbagai sisi sangat dibutuhkan—bukan sekadar data geografis, tetapi juga nilai-nilai budaya dan sejarah,” jelasnya.

Menurut Bima, dialog terbuka menjadi pilar utama dalam menyelesaikan sengketa batas wilayah yang telah berlangsung lama. Ia mengingatkan agar tidak ada pihak yang membawa kepentingan tertentu di luar fakta.

“Dialog menjadi kunci. Semua perspektif harus dikumpulkan secara terbuka dan objektif. Yang utama adalah mengacu pada data dan hukum yang berlaku, bukan kepentingan kelompok,” tegasnya.

Pemerintah berharap proses penyelesaian ini akan menghasilkan solusi yang adil dan diterima oleh semua pihak, demi menjaga harmoni antarwilayah dan memastikan kejelasan batas administrasi di Indonesia.