Mediasulsel.id, Makassar — Eksekusi lahan Gedung Hamrawati seluas 12.931 meter persegi di Jalan AP Pettarani, Makassar, pada Kamis (13/2/2025), mendapat protes keras dari ahli waris. Mereka menilai eksekusi yang dilakukan berdasarkan putusan Mahkamah Agung tersebut bermasalah karena diduga melibatkan dokumen palsu dalam proses peradilan.
Muhammad Alif Hamat Yusuf, pengacara sekaligus ahli waris Gedung Hamrawati, menyebut bahwa pemohon eksekusi, Andi Baso Matutu, saat ini tengah menjalani hukuman penjara karena terbukti menggunakan bukti palsu dalam perkara perdata nomor 49/PDT.G/2018/PN.MKS.
Alif menegaskan bahwa eksekusi yang dilakukan pada lahan tersebut harus dibatalkan karena dasar hukum yang digunakan sudah cacat secara hukum.
“Bukti yang dipalsukan termasuk tanda tangan Camat Panakukang saat itu, Dra. Hj. Sri Sulsilawati, serta akta pembagian warisan dari Pengadilan Agama Bulukumba,” ujar Alif dalam konferensi pers di Makassar, Minggu (16/2/2025).
Menurutnya, penggunaan dokumen palsu dalam perkara perdata ini telah menyesatkan jalannya persidangan sehingga putusan yang dihasilkan Mahkamah Agung pun menjadi tidak sah. Selain itu, Alif juga menambahkan bahwa saat ini masih ada proses hukum terkait dugaan pemalsuan rincik tanah yang sedang ditangani oleh Polrestabes Makassar. Ia menekankan bahwa proses eksekusi harus dihentikan hingga seluruh perkara hukum terkait lahan tersebut tuntas secara menyeluruh.
“Kami telah mengajukan berbagai laporan ke pihak berwenang agar kasus ini mendapatkan perhatian serius,” katanya. Protes dari ahli waris juga semakin kuat setelah Komisi Yudisial Republik Indonesia menjatuhkan sanksi kepada tiga hakim yang menangani kasus tersebut. Ketua Majelis Hakim Suratno, SH, serta hakim anggota Adhar, SH, M.Hum, dan Harto Pancono, SH, diberikan sanksi karena diduga menghilangkan 12 dari 60 alat bukti yang diajukan oleh ahli waris dalam persidangan.
Dugaan pelanggaran etik ini semakin memperkuat indikasi adanya kejanggalan dalam proses hukum yang mengarah pada eksekusi lahan. Ahli waris Gedung Hamrawati menilai bahwa keputusan Mahkamah Agung yang menjadi dasar eksekusi tidak mencerminkan keadilan karena dikeluarkan berdasarkan dokumen yang telah terbukti dipalsukan.
Mereka juga menyebutkan bahwa keputusan ini berpotensi menimbulkan preseden buruk dalam sistem hukum Indonesia. Menurut Alif, proses eksekusi yang tetap dijalankan tanpa mempertimbangkan fakta hukum yang berkembang justru akan merugikan masyarakat yang selama ini mencari keadilan. “Kami berharap aparat penegak hukum dapat bertindak objektif dan profesional dalam menangani kasus ini. Jika eksekusi tetap dilaksanakan, ini bisa menjadi bentuk ketidakadilan yang mencederai hukum,” tegasnya.
Kasus ini juga menarik perhatian sejumlah pihak, termasuk lembaga advokasi hukum dan akademisi di Makassar. Mereka menilai bahwa proses peradilan harus berjalan transparan dan tidak boleh ada intervensi yang mencederai hukum. Pihak ahli waris berharap agar aparat penegak hukum segera menindaklanjuti kasus ini dan menunda eksekusi lahan hingga seluruh proses hukum terkait selesai.
Mereka juga mengimbau kepada masyarakat agar tidak terprovokasi dan tetap mengikuti jalur hukum dalam menyelesaikan sengketa ini. Kasus eksekusi lahan Gedung Hamrawati menjadi sorotan publik dan menambah daftar panjang polemik sengketa tanah di Indonesia. Kejadian ini menunjukkan betapa pentingnya ketelitian dalam proses peradilan agar tidak terjadi penyalahgunaan hukum yang berujung pada ketidakadilan bagi pihak yang benar-benar memiliki hak atas tanah tersebut. Masyarakat kini menanti langkah tegas dari pemerintah dan lembaga hukum untuk mengawal kasus ini demi menegakkan keadilan. (And)