mediasulsel.id – Jakarta — Kementerian Agama Republik Indonesia resmi menerbitkan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 11 Tahun 2025 yang mengatur Pedoman Perhitungan Kebutuhan Jabatan Fungsional Penyuluh Agama. Regulasi ini menjadi panduan nasional dalam menghitung kebutuhan penyuluh secara objektif dan terukur, berdasarkan beban kerja, kondisi umat, serta karakteristik wilayah binaan.
Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Abu Rokhmad, menjelaskan bahwa kebijakan ini merupakan bagian dari reformasi birokrasi berbasis data dan kinerja. Ia menekankan pentingnya kehadiran penyuluh agama secara proporsional dan tepat sasaran, bukan sekadar mengikuti populasi, tapi berdasarkan realita lapangan.
“Penyuluh agama adalah ujung tombak pembinaan umat di akar rumput. Karena itu, kita butuh perhitungan ilmiah dan konsisten antarwilayah,” ujarnya dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu (12/7/2025).
Hadirnya PMA 11/2025 menjadi langkah penting untuk menyamakan standar penghitungan kebutuhan di seluruh daerah. Kini, seluruh Kantor Wilayah Kemenag memiliki alat ukur yang sama untuk menyusun formasi penyuluh agama secara akurat dan adil.
Abu Rokhmad juga menegaskan bahwa regulasi ini akan memperkuat posisi Kemenag sebagai instansi pembina jabatan fungsional penyuluh agama, terutama dalam penetapan formasi, distribusi, hingga pembinaan karier.
“Penyuluh agama bukan hanya menyampaikan dakwah, tetapi juga melakukan pendampingan sosial, membina keluarga, mencegah konflik, hingga menjadi jembatan mediasi keagamaan di masyarakat,” jelasnya.
Selain memperhitungkan jumlah, peraturan ini juga bertujuan mengurangi ketimpangan antarwilayah, baik antara kota dan desa maupun wilayah dengan karakter keberagamaan yang berbeda.
Hitung Beban Kerja Lewat Rumus Khusus
Sementara itu, Direktur Penerangan Agama Islam, Ahmad Zayadi, memaparkan bahwa metode penghitungan kebutuhan jabatan fungsional penyuluh menggunakan rumus:
Kontribusi x Volume Beban Kerja ÷ Standar Kemampuan Rata-rata (SKR)
Menurutnya, SKR menunjukkan kapasitas rata-rata penyuluh dalam menyelesaikan tugas dalam satu tahun. Nilainya ditentukan berdasarkan jenis kegiatan dan jenjang jabatan, dari ahli pertama hingga utama. Setiap kegiatan memiliki nilai kontribusi yang berbeda, mencerminkan distribusi kerja yang proporsional.
Zayadi juga menekankan bahwa volume beban kerja ditentukan dari berbagai indikator spesifik seperti jumlah umat binaan, keberagaman isu keagamaan, hingga kondisi geografis wilayah tugas.
“Semakin kompleks suatu wilayah, semakin tinggi kebutuhan penyuluh di sana,” jelasnya.
Kelompok usia produktif (5–50 tahun) juga menjadi sasaran utama pembinaan, sebagai bagian dari pembangunan karakter bangsa berbasis agama.
Di akhir, Zayadi memastikan bahwa seluruh pengajuan formasi dari daerah akan melalui proses validasi berjenjang dan berbasis data, sebelum diajukan ke Menteri Agama dan Kementerian PAN-RB.
“Kami ingin memastikan bahwa formasi yang diusulkan bukan sekadar administratif, tapi benar-benar mencerminkan kebutuhan nyata di lapangan,” pungkasnya.(*)