mediasulsel.id – Kota Makassar, ibu kota Provinsi Sulawesi Selatan, dikenal sebagai salah satu kota besar di Indonesia yang terus tumbuh dari sisi pembangunan dan jumlah penduduk. Kota ini merupakan rumah bagi berbagai etnis, termasuk suku Makassar, Bugis, Toraja, Mandar, Buton, Jawa, hingga Tionghoa.
Namun, tak banyak yang tahu bahwa sebelum resmi disebut Makassar seperti sekarang, kota ini pernah dikenal dengan nama Ujung Pandang.
Nama “Makassar” sendiri telah disebutkan dalam naskah kuno Negarakertagama karya Mpu Prapanca pada abad ke-14 sebagai wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Meski demikian, perkembangan signifikan kota ini baru terjadi di bawah pemerintahan Raja Gowa ke-9, Tumaparisi Kallonna (1510–1546), yang memindahkan pusat kekuasaan ke wilayah pesisir dan mengembangkan perdagangan melalui pelabuhan di muara Sungai Jeneberang.
Nama “Ujung Pandang” mulanya mengacu pada sebuah benteng pertahanan di utara kota lama, yang dibangun oleh Raja Gowa ke-16. Benteng ini kemudian jatuh ke tangan Belanda melalui Perjanjian Bungaya tahun 1667 dan diubah namanya menjadi Fort Rotterdam oleh VOC.
Pasca kejatuhan Makassar, penduduk membentuk pemukiman baru di sebelah utara benteng tersebut. Nama Ujung Pandang mulai banyak dikenal sejak tahun 1950-an, dan secara resmi digunakan sebagai nama kota melalui Peraturan Pemerintah RI Nomor 51 Tahun 1971 pada masa Orde Baru.
Namun, perubahan nama itu menuai reaksi dari budayawan dan tokoh masyarakat Sulawesi Selatan yang merasa kehilangan identitas historis. Gerakan untuk mengembalikan nama “Makassar” kembali menggema pada tahun 1976. Perjuangan ini berlangsung hingga akhirnya pada 21 Agustus 1999, DPRD Kotamadya Ujung Pandang secara resmi menyetujui perubahan nama kota kembali menjadi Makassar.
Sejak saat itu, kota yang terletak di pesisir barat daya Pulau Sulawesi ini kembali menggunakan nama Makassar, yang merepresentasikan identitas sejarah, budaya, dan kebanggaan masyarakatnya.