Mediasulsel.id, Makassar – Lembaga Pusat Bantuan Hukum (PBH) Peradi bersama sejumlah awak media turut mendampingi seorang ibu berinisial H (33), yang merupakan ibu sambung anak korban dugaan tindak pidana seksual yang masih berusia 6 tahun. Pendampingan dilakukan di Polrestabes Makassar pada Jumat, 9 Mei 2025 malam.
Kuasa hukum dari PBH Peradi, Yusmi, menyampaikan bahwa pihaknya hadir sebagai bentuk pendampingan hukum terhadap pelapor yang anaknya menjadi korban kekerasan seksual. Yusmi menjelaskan bahwa laporan tersebut kini tengah ditangani oleh Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polrestabes Makassar.
“Kehadiran kami di sini sebagai pendamping hukum dari ibu pelapor, yang mana anaknya menjadi korban kekerasan seksual. Korban masih berusia 6 tahun. Tadi kami sudah berkoordinasi dengan pihak kepolisian, khususnya dengan Kanit PPA. Alhamdulillah, laporan ini sudah mulai ditangani secara serius. Pelapor telah dimintai keterangan tambahan, dan pihak terlapor saat ini juga tengah diperiksa,” ujar Yusmi kepada wartawan.
Ia menambahkan bahwa PBH Peradi memiliki tim khusus bernama Tim Taspor, yang fokus menangani perkara yang melibatkan perempuan dan anak, termasuk kasus kekerasan seksual. Tim ini juga kerap bekerja sama dengan lembaga-lembaga terkait, seperti Komnas Perempuan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
“Kami akan segera membuat surat kuasa secara resmi. Selain itu, kami juga sudah melakukan komunikasi dengan tim LPSK, yang selama ini aktif membantu kami dalam menangani perkara serupa. Harapannya, kasus ini dapat segera ditindaklanjuti hingga ke tahap penetapan tersangka,” jelas Yusmi.
Namun, ada kejadian yang menjadi sorotan warga sekitar dan menimbulkan tanda tanya besar di tengah masyarakat. Pelapor dijemput oleh empat penyidik dari Polrestabes Makassar dengan cara yang dianggap tidak etis. Proses penjemputan tersebut dinilai terlalu memaksa, sehingga memicu keresahan dari warga dan keluarga pelapor.
Menanggapi hal itu, Yusmi menegaskan bahwa selama tindakan aparat penegak hukum masih dalam koridor hukum dan prosedural, pihaknya tidak mempermasalahkan. Namun, ia menyayangkan jika pendekatan yang dilakukan tidak mempertimbangkan etika dan aspek psikologis pelapor.
“Kalau penjemputan itu bertujuan baik dan menguntungkan proses hukum bagi pelapor, tentu kami mendukung. Tapi kami juga berharap semuanya dilakukan sesuai dengan prosedur yang benar. Tidak elok apabila ada kesan pemaksaan, terlebih terhadap ibu korban yang masih mengalami trauma,” katanya.
Lebih lanjut, Yusmi mengungkapkan adanya pernyataan dari salah satu oknum penyidik yang juga menimbulkan kekecewaan di kalangan jurnalis. Dalam proses penjemputan, seorang penyidik diduga mengucapkan kalimat dengan nada keras yang berbunyi, “Panggil semua wartawanmu beserta pengacaramu!”.
Ucapan tersebut dianggap menantang dan meremehkan peran pers serta pendamping hukum. Para jurnalis yang hadir merasa tersinggung dan mempertanyakan maksud dari pernyataan tersebut. Menurut mereka, seharusnya aparat penegak hukum bersikap profesional dan menghargai fungsi kontrol sosial yang dijalankan oleh pers.
“Kami sangat menyesalkan adanya pernyataan seperti itu dari aparat. Jurnalis hadir untuk mengawal proses hukum, bukan untuk membuat kegaduhan. Kami berharap kepolisian dapat memberikan klarifikasi terkait ucapan tersebut,” ujar salah satu jurnalis yang enggan disebutkan namanya.
Kasus kekerasan seksual terhadap anak ini menambah panjang daftar perkara serupa yang terjadi di Makassar. PBH Peradi bersama media berkomitmen untuk terus mengawal proses hukum hingga pelaku mendapatkan hukuman yang setimpal. Mereka juga berharap agar aparat penegak hukum dapat bekerja secara profesional, transparan, dan berpihak pada korban.
“Ini adalah bentuk solidaritas kami, baik sebagai kuasa hukum maupun sebagai jurnalis. Kami akan terus mengawal hingga keadilan benar-benar ditegakkan,” tutup Yusmi. (And)